Minggu, 24 Maret 2019

Kidung Jawa: Kesakralan yang disalahartikan


***

apakah kalian pernah mendengar tembang Lingsir Wengi dan merasa ketakutan?
ya, tembang ini sempat menjadi fenomenal ketika menjadi unsur penting di film Kuntilanak (2006) yang konon katanya, dapat mendatangkan makhluk halus. 
jika mencari artikel dari google, Lingsir wengi seringkali dikatakan sebagai doa penolak bala ciptaan Sunan Kalijaga. Namun jika dilihat dari sejarah dan asal usulnya, Lingsir Wengi mempunyai banyak versi dan tidak ada kejelasaan siapa yang sebenarnya menciptakan tembang yang disebut-sebut memakai macapat durma tersebut.

Hal itu menjadi pertanyaan besar, mengapa Lingsir Wengi tidak pernah ada dalam jejak perjalanan dakwah Sunan Kalijaga? Dari berbagai buku dan sumber yang ditemukan, jika ingin berbicara tentang Kidung Penolak Bala karya Sunan Kalijaga, saya menemukan sebuah kidung sakral yang berjudul Rumeksa ing Wengi (terjaga di waktu malam).

Kidung itu diperkirakan diciptakan pada abad 16-17 ketika Sunan Kalijaga sedang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa melalui kesenian. Sunan Kalijaga dikenal sebagai salah satu wali yang menyebarkan agama Islam melalui kesenian, salah satunya adalah kidung. Kidung sendiri mempunyai arti sebagai sebuah puisi yang dinyanyikan, yang isinya berupa petuah dari leluhur dan ajaran tentang hidup.

Banyak sekali kidung-kidung yang tercipta, salah satunya adalah kidung penolak bala yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Kidung biasanya masuk kedalam macapat, dimana mempunyai pakem-pakem yang harus dipatuhi. Sedangkan jika ingin melihat konteks dari syair Lingsir Wengi, Lingsir Wengi tidak sama dengan pakem Rumeksa ing Wengi, sehingga tidak bisa disamakan.


***

sekarang mari kita bedah versinya satu persatu kenapa tidak bisa disamakan.
seperti yang saya bilang di awal, saya menemukan 3 versi yang berbeda.
ketika kita menanyakan Lingsir Wengi kepada orang Jawa yang berprofesi sebagai dalang, sinden, pelatih karawitan, ataupun orang Jawa lainnya yang suka menyanyikan tembang Jawa, Lingsir Wengi yang mereka pahami adalah Lingsir Wengi versi campursari. berikut liriknya:



Lingsir Wengi


Lingir wengi
Sepi durung bisa nendra
Kagoda mring wewayang kan ngreridu ati

Kawitane mung sembrono njur kulina
Ra ngira yen bakal nuwuhke tresno

Nanging duh tibane
Aku dhewe kang newahi
Nandang bronto kadung lara
Sambat sambat sapa

Rina wengi sing tak puji aja lali
Janjine muga bisa tak ugemi


artinya:



saat menjelang tengah malam
sepi tidak bisa tidur
tergoda bayanganmu
di dalam hatiku
permulaanya
hanya bercanda kemudian terjadi
tidak mengira akan jadi cinta
kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku
menderita sakit cinta (jatuh cinta)
aku harus mengeluh kepada siapa
siang dan malam
yang saya cinta jangan lupakan ku
janjinya kuharap tak diingkari
bisa disimpulkan bahwa arti dari lirik ini adalah tentang kerinduan pada seorang kekasih atau ilahi. kerinduan yang terjadi ketika di waktu menjelang malam. 
tidak ada keterkaitan sama sekali dengan pemanggil hantu.

sewaktu saya sedang mencari data dengan mendatangi pelatih karawitan di Jakarta, ada kekeliruan yang terjadi antara saya dan bapak pelatih karawitan.
waktu itu saya hanya bilang di pesan singkat bahwa saya ingin wawancara mengenai tembang Lingsir Wengi.
ketika saya sampai di tempat beliau kerja, beliau langsung membawa sebuah buku kecil yang isinya berupa langgem-langgem (lagu) Jawa, dan salah satunya ada lagu Lingsir Wengi. ketika saya lihat liriknya, ternyata isinya berbeda dengan yang ingin saya tanyakan sesungguhnya.
ada perbedaan pengetahuan dengan saya dan bapak pelatih.
yang saya tahu selama ini adalah lirik di film Kuntilanak, 
sedangkan yang bapak pelatih tau selama ini, yaitu Lingsir Wengi dari kumpulan buku langgem Jawa. dan langgem ini BUKAN TERMASUK macapat, jadi langgem ini hanya berupa lagu biasa pada umumnya.

jadi kesimpulannya, 

tidak ada kesamaan antara Lingsir Wengi yang biasa orang Jawa nyanyikan dengan Lingsir Wengi di film Kuntilanak.

nah sekarang saya coba bahas lirik dari film Kuntilanak itu sendiri:



Lingsir Wengi di film Kuntilanak (2006)



Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet
artinya:
Menjelang malam, dirimu (bayangmu) mulai sirna
Jangan terbangun dari tidurmu
Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri)
Aku sedang gelisah,
Jin setan ku perintahkan
Jadilah apapun juga,
Namun jangan membawa maut
ketika saya kembali menonton film Kuntilanak (2006) untuk meneliti tembang ini, ada suatu dialog yang menginformasikan bahwa tembang ini merupakan tembang macapat durma. jadi, setiap macapat itu ada wataknya masing-masing dan harus mengikuti pakem yang sesuai dari guru lagu, guru wilangan dan guru gatra. kalau belajar sastra pasti paham dengan ini, karena ini mirip sama ketentuan sastra puisi pada umumnya.
ada yang bilang ini sesuai dengan macapat durma, tapi ada juga yang bilang tidak.
kalau menurut saya sendiri, ini tidak termasuk macapat durma. sebenarnya saya tidak bahas tembang ini ke tugas akhir saya, hanya selewat saja, karena sulit sekali mencari sumber dari buku yang membahas tembang ini. sumber wawancara pun juga minim karena banyak yang masih salah paham dan tidak tau sama sekali tentang tembang Lingsir Wengi yang ada di film Kuntilanak ini. jadi kalau ada kesalahan mohon dikoreksi.
guru lagu macapat durma itu sebenarnya adalah a, i, a, a, i, a, i.
sedangkan yang di tembang ini a, i, a, a, i, i, a, e.
ini tentu dua hal yang berbeda.

fakta lainnya pun yang akhirnya membuat saya paham.

saya menemukan data bahwa sutradara film Kuntilanak memang menciptakan lagu yang sebenarnya tidak ada judulnya ini untuk keperluan film Kuntilanak. sutradara film Kuntilanak ini memasukkan unsur sifat dari watak durma (keras) ke dalam cerita dan penokohannya.

jadi kesimpulan yang bisa saya ambil,

Lingsir Wengi di film Kuntilanak ini adalah sebuah karya baru dan tidak diciptakan pada masa Walisanga. ini hal yang sangat berbeda.
beda zaman, beda penggunaan bahasa (dimana pada jaman walisanga masih menggunakan bahasa jawa tengahan), dan beda pengertian. seperti yang dikatakan pada Dedi Kurnia dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, karya sastra merupakan refleksi yang mencerminkan masyarakat. maka dari itu, menganalisis karya sastra harus pula menganalisis budaya, adat istiadat, ideologi, hegemoni, pandangan, dan benda-benda budaya yang terdapat pada masyarakat di lingkungan pencipta produk sastra tersebut (Kurnia, 2016:41). 
saya pernah menonton percakapan Sujiwo Tejo waktu ditanya masalah lagu ini di sebuah acara TV, beliau bilang kalaupun memang Lingsir Wengi film Kuntilanak diciptakan pada masa walisanga, ada perbedaan bahasa yang sangat terlihat kasar untuk abad 16 dan menjanggal. tidak mungkin bahasa itu digunakan pada masa Walisanga.

untuk masalah arti lirik, kalaupun memang benar sebagai pemanggil hantu (saya tidak membedah makna dari lagu ini, jadi saya kurang tau arti sebenarnya), ya itu sah-sah saja. saya pun tidak bisa menyalahkan penciptanya. 

tapi yang ingin saya garis bawahi,
yang ingin saya luruskan,
Lingsir Wengi di film Kuntilanak tidak ada kaitannya dengan Sunan Kalijaga.
mungkin saja Lingsir Wengi terinspirasi dari Rumeksa ing Wengi (Kidung ciptaan Sunan Kalijaga) mengenai waktu malam, tapi selebih dari itu, semua tidak ada kaitannya. 
kalau mau bicara tentang tembang pemanggil hantu,
di budaya Jawa sendiri memang ada,
tapi hal ini sangat disakralkan dan dirahasikan mengingat akan berdampak buruk ketika disalahgunakan. jadi tentu saja tidak sembarang orang yang tahu kidung tersebut.

seperti yang kita ketahui pula, dari semua kidung yang ada, semua tatanan bahasanya sangat tertata rapih, menggunakan bahasa tingkat tinggi dan memakai peribahasa atau perumpamaan. 


selanjutnya, mari kita bahas Kidung Rumeksa ing Wengi. karena bait Rumeksa ing Wengi ada banyak, saya hanya akan mengacu pada bait 1 dan ke 4 saja.



Kidung Rumeksa ing Wengi ciptaan Sunan Kalijaga



Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna

artinya:


Ada nyanyian yang menjaga di malam hari
Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari penyakit
Terbebas dari semua malapetaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap



***

seperti teori dari Dedi Kurnia yang saya jelaskan diatas mengenai karya sastra merupakan refleksi yang mencerminkan masyarakat, jika merujuk pada Kidung Rumeksa ing Wengi, bisa disimpulkan bahwa Sunan Kalijaga menciptakan Kidung ini karena beberapa faktor. 

pada abad tersebut (sekitar abad 16) Islam masih sangat asing di masyarakat Jawa. mereka masih sangat berpegang teguh pada Hindu-Buddha dan kepercayaan kejawen. untuk memudahkan Sunan Kalijaga memperkenalkan Islam pada masyarakat Jawa, beliau membuat beberapa Kidung menggunakan bahasa Jawa agar masyarakat lebih tertarik untuk mempelajarinya dan lebih mudah untuk memahaminya. terlebih ketika masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian seperti wayang, musik, dan karya sastra (Kidung, Macapat). wayang pun diubah bentuknya agar tidak terlalu menyamakan makhluk hidup. Macapat sendiri hadir karena pengaruh ajaran islam yang tertanam pada Kidung-Kidung Jawa yang diciptakan oleh Walisanga. filosofi dari Macapat itu sendiri adalah proses kehidupan manusia dari dalam kandungan hingga menuju kematian. selain itu, masyarakat Jawa pada saat itu kesulitan untuk melafalkan kalimat berbahasa arab. jadi, untuk memudahkan, Sunan Kalijaga meramu dan mengadaptasi semua ajaran Islam ke beberapa kesenian berbahasa Jawa dengan menyebarkan esensi ajaran Islam itu sendiri. tentu saja bukan dengan cara mengubah ayat Al-Qur'an ke Bahasa Jawa (walaupun dalam perkembangannya memang di TERJEMAHKAN kedalam Bahasa Jawa agar masyarakat dapat memahami) tetapi, mencoba meramu dan mengadaptasi kandungan isi Al-Qur'an ke dalam Kidung berbahasa Jawa. karna pada hakekatnya, Islam adalah agama yang damai, tidak perlu disebarkan melalui kekerasan.


seperti pada bait ke 1 Kidung Rumeksa ing Wengi diatas,

menurut Chodjim dalam bukunya yang berjudul Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat, merupakan adaptasi dari kandungan surat An Nas dan Al Falaq. namun ada pula sumber lain yang mengatakan merupakan adaptasi dari Ayat Kursi. dimana isi kandungannya berupa perlindungan kepada Allah SWT dari kejahatan yang dilakukan jin dan manusia, juga perlindungan dari penyakit. seperti layaknya doa-doa sakral yang diajarkan dalam Islam, Kidung Jawa pun juga merupakan sebuah doa sakral, karena apabila kita melafalkannya dengan sangat sungguh-sungguh, niscaya doa itu akan terkabul. 

Macapat yang digunakan adalah macapat dhangdhanggula karena doa ini memang sebuah bentuk dari pengharapan yang manis, maksudnya adalah untuk terciptanya sebuah harapan yang menyenangkan yaitu terbebas dari segala malapetaka.

ketika Sunan Kalijaga sudah memperkenalkan esensi sebuah "doa" agar terhindar dari marabahaya melalui Kidung Rumeksa ing Wengi bait 1 sampai bait 3,

tibalah di bait ke 4 ketika Sunan Kalijaga mulai memperkenalkan sifat-sifat nabi, yang dimaksudkan agar kita dapat mencontoh simbol-simbol baik yang ada pada nabi-nabi.

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman


artinya:

Nafasku nabi Isa yang teramat mulia 

Nabi Yakub pendengaranku
Nabi Daud menjadi suaraku 
Nabi Ibrahim sebagai nyawaku 
Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku 
Nabi Yusuf menjadi rupaku 
Nabi Idris menjadi rambutku 
Ali sebagai kulitku 
Abu Bakar darahku dan Umar dagingku  
Sedangkan Usman sebagai tulangku.


***


atas keberhasilan Sunan Kalijaga dan Walisanga inilah Islam akhirnya dikenal dan diterima baik oleh masyarakat Nusantara hingga hari ini.


***


seiring berjalannya waktu, kehidupan semakin berkembang, Islam pun menjadi agama yang sangat kuat dan berkembang pesat di negeri ini. tapi... tak sedikit pula yang menyalahkan leluhur atas apa yang terjadi dengan kepercayaan masyarakat hari ini.


kesenian daerah perlahan mulai dijauhi.

"tembang itu artinya untuk memanggil hantu!" sebuah pernyataan yang sangat berhasil membuat generasi muda sangat takut dan enggan mendengar kesenian musik jawa yang menggunakan sinden dan gamelan.

"itu klenik dan mistik, sesat!"

ada ilmu putih, 
dan ada ilmu hitam.
namun seakan-akan semuanya adalah ilmu hitam.
padahal jika dikenali lebih dalam, Klenik merupakan sesuatu yang tersembunyi. hal yang dirahasikan untuk umum, yaitu ilmu yang diajarkan kepada mereka yang sudah matang dalam kesadarannya. hal ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan, atau disalahartikan (Chodjim, 2013:89).

mistik sendiri menurut KBBI adalah subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan.

ini adalah salah satu ikatan emosional antara manusia dan sang pencipta yang disalurkan melalui kesenian.
karena pada hakekatnya,
semua hanyalah bentuk simbol yang leluhur salurkan untuk mengekspresikan kecintaannya pada sang pencipta.. in a different way.

***

ada sebuah kutipan yang akan selalu saya ingat tentang hal ini;

ada tiga cara melemahkan dan menjajah suatu negeri:

pertama, kaburkan sejarahnya;
kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya;
ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhur, dengan mengatakan jika leluhur itu bodoh dan primitif.

( Architects of Deception - Secret History of Freemasonry by Juri Lina)


saya harap, dengan membaca artikel ini,

bisa membuka wawasan kalian,
dan membuat kalian kembali berfikir.

bagaimana jika suatu saat identitas bangsa ini benar-benar hilang dan tidak bisa lagi dibuktikan kebenarannya?




-S


-----
tulisan ini hanyalah sedikit dari rasa keresahan saya ketika Sunan Kalijaga dan kebudayaan Jawa selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. penelitian ini mungkin masih dangkal karena keterbatasan waktu, oleh sebab itu saya masih sangat terbuka untuk semua diskusi dan pengetahuan lain yang belum saya ketahui, dan akan selalu saya update jika ada pengetahuan baru. tulisan ini berdasarkan hasil rangkuman penelitian Tugas Akhir yang saya tulis dan kaji sendiri yang kemudian saya kembangkan menjadi sebuah film pendek berjudul Klenik, untuk trailer filmnya bisa dilihat di bawah ini----- 




Daftar Pustaka
Chodjim, Achmad. 2013. Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi 
Endraswara, Suwardi. 2015 Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak 
Kurnia, Dedi. 2016. Komunikasi Lintas Budaya. Bandung: Simbiosa Rekatama Media 
Purwadi. 2007 Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka 
Wiwoho, B. 2017. Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga. Tangerang: Pustaka IIMaN 

Darusuprapta. 1989. Macapat dan Santiswara. [Jurnal] Tersedia pada: (https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/2221) diakses pada 11 September 2017 
Efendi, Agus. 2011. Mengenal Tembang Macapat. [Jurnal] Tersedia pada: (http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=268387) diakses pada 29 Agustus 2017 
Febrianto, Joko. 2012. Pemaknaan Lirik Lagu “Lingsir Wengi” OST Kuntilanak 2006. [Skripsi] Tersedia pada: (http://eprints.upnjatim.ac.id/3516/1/file1.pdf) diaskses pada 29 Agustus 2017 
Nugraeni, Klara. 2014. Mitos Tembang Durma Kuntilanak Dalam Film Kuntilanak. [Thesis] [Diakses pada 29 Agustus 2017] Tersedia pada: (jurnal.isi- ska.ac.id/index.php/gelar/article/download/1527/1477)
Suwardi. Wawasan Hidup Jawa Dalam Tembang Macapat. [Jurnal] [Diakses pada 29 Agustus 2017] Tersedia pada: (http://eprints.uny.ac.id/5095/1/Wawasan_Hidup_Jawa_dalam_Tembang_Ma capat.pdf) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar